SMS-SMS yang membuat jiwa beku

"Kalau Allah membayar hutang atas kebaikan dan keprihatinanmu tidak kepadamu, Insya Allah anak-anakmu kelak yang akan menerima anugerah itu bertumpuk-tumpuk"

"Apa saja yang menyenangkan hatimu jadikan benih tanaman kebaikan bagi anakmu, apa saja yang menyengsarakan hatimu segera niatilah menabung ongkos bagi keselamatan dan kesejahteraan anakmu"

"Kalau memasuki wirid surah Al-Ikhlas dan menciptakan atmosfir diri ikhlas, harus siap menanggung beratnya ujian. Iblis bersumpah tidak akan menyentuh orang ikhlas dan membiarkannya merdeka bercinta dengan Allah, sudah pasti itu bukan pekerjaan remeh ringan murah harga nilai dan tanggungannya"

"Perih, nelangsa, dunia jadi ampang, hidup terasa hambar. Allah berkata: pindahlah ke tempat lain yang segar, manis dan menyenangkan hatimu. Hamba menjawab: tak ada lagi yang seperti itu ya Allah, kecuali di halaman rumah ampunan dan pertolonganMu"


SMS by: Cak Nun

Kegelapan Versus Cahaya

Apa itu kondisi gelap. Dan bagaimana itu cahaya terang.

Gelap adalah kondisi dimana tidak ada cahaya.

Kalau malam sedang gelap gulita, orang-orang tak bisa melihat secara jelas, dan bertubrukan satu sama lain, berarti sedang diselimuti kegelapan.

Yang ditawarkan oleh kegelapan adalah kondisi dimana seseorang menjadi buta karena tak ada cahaya. Sehingga yang terjadi adalah kekacauan.

Lalu apa tujuan tulisan ini. Kalau sekedar pendefinisian tentang gelap dan terang, cahaya dan kebutaan, sebaiknya bisa langsung ngacir saja ke situs sejenis wikipedia, mungkin pembahasannya lebih menyeluruh.

Tapi yang terpenting adalah penarikan definisi kegelapan ini ketingkat yang lebih abstrak dan kedalam. Dimana yang dimaksud dengan kegelapan ternyata bisa masuk-masuk ke berbagai dimensi-dimensi, misalnya, kegelapan akal dan hati. Ah, itu sudah kuno, katamu.

Bagaimana dengan kegelapan spiritual?

Ck, Itu topik lama juga.

Baiklah, tapi sekurang-kurangnya aku ingin menawarkan teori tentang bagaimana mengangkat kegelapan. Disini tentu yang kumaksud kegelapan mental. Sebab ia jauh lebih seram. Dan jika mental sudah dalam kondisi gelap, bisa-bisa jiwamu nabrak-nabrak sebab tak melihat cahaya. Akhirnya jiwamu terkilir.

Apakah aku pakar pencahayaan, sehingga sesumbar memberi tips bagaimana mengangkat gelap dan meraih cahaya terang.

Justru karena hidupku gelap, akhirnya jadi tahu dan rindu dengan cahaya. Karena lama dikegelapan, akhirnya harus terpaksa mempelajari dan menemukan kunci pencahayaan. Analoginya sederhana: untuk menghayati hakekat sehat, hanya orang sakit yang sanggup melakukannya secara lebih sejati.

Kegelapan adalah sesuatu yang harus digusur. Dengan apa? Cahaya. Kenapa? Karena didalam kegelapan, semua hal yang buruk gampang terjadi.

Untuk menghajar kegelapan, perangkatnya satu, hati. Untuk memakai perangkat itu, sedikit hal simpel mesti sanggup dilakukan; bersihkan ia dari benci.

Maka cahaya akan pasti muncul menindas kegelapan. Cahaya tak bisa dibendung. Dia mengguyur begitu saja. Cahaya menerobos masuk kemana saja. Merubah gelap menjadi benderang.

Secangkir susu jahe

Mula-mula penuh, lalu tinggal setengah, lantas ludes masuk rongga tenggorokan, menyisakan rasa manis-manis pedas dikaki lidah. Leganya.

Memang kalau sedang bengong, enaknya berkhayal yang tidak-tidak sambil ditemani secangkir minuman hangat. Tapi, memangnya apa itu berkhayal yang tidak-tidak. Definisinya masih samar-samar. Aku sendiri tak bisa menelusuri akar kalimat itu. Bangsa Indonesia memang memiliki banyak sejarah bahasa yang sukar dimengerti.

Kesimpulannya, berarti ada juga pekerjaan mengkhayal yang iya-iya.

Kadang-kadang ingin rasanya diri ini nangis. Soalnya sangat banyak yang tidak bisa kesampaian dalam hidup. Sumpek diri ini memikirkan hal-hal yang ingin dicapai tapi tak sampai-sampai.

Kalau disuruh milih sih, mending jadi ayam saja, tak membutuhkan ideom-ideom dan tema-tema yang membingungkan. Cukup makan dan kawin. Masalah nanti diakhirat disediakan surga atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting dalam hidup yang hanya sekali ini, ia tidak ketemu dengan yang namanya stress.

Sebab sudah setua ini masih saja hati ini tak selesai. Ribut dengan keinginan-keinginan, ego, nafsu, kepentingan yang tidak jelas dan tidak sejati.

Sudah setua ini masih saja tidak mengenali jalan lurus. Sekalinya ketemu, tiba-tiba kaki ini kram, atau pincang mendadak, sehingga jalannya terseok dan setengah-setengah.

Maka alangkah enaknya itu ayam. Tidak dituntut harus pintar, bebas bergerak mau kemana dan tak perlu belajar bahasa inggris untuk mengerti dunia global.

Tak perlu disuruh sholat, sebab kokoknya sudah otomatis dzikir. Matinya disembelih sudah serta merta penyerahan total kepada Tuhan. Jadi tidak terbayangkan seekor ayam bisa masuk neraka. Sekalipun ini ayam terbang melangkahi kepala kyai dan e'ek di atas kopyah beliau, tetap tak terbayang besok akan ada antrian ayam dipintu neraka.

Susu jahe tinggal rasa, tapi hati ini tetap tertambat kepada ayam. Terkagum-kagum dengan perilakunya yang jika diminta raga dan jiwanya sama Tuhan, akan lantas menyerahkan, sebab otaknya yang kecil itu mengerti bahwa dirinya milik Tuhan dan tak ada saham 0 % pun baginya dalam kepemilikan itu.

Lain halnya dengan manusia, yang merasa sangat berhak atas dirinya sendiri. Sehingga apapun harus yang sesuai selera diri sendiri. "Inna lillahi" itu terminologi asing. Kita milik Allah, jiwa raga kita pinjaman, namun jika diminta, kita ngotot tidak mau ngasih jiwa kita. Kita gerak bukan berdasar kepada apa yang benar menurut Tuhan, tapi berdasar mood atau tidak mood. Seolah-olah tuhan kita adalah mood itu sendiri.

Alangkah bahagianya ayam yang tak pernah tau mood. Tidak pernah diperbudak mood, tidak sekalipun menjadi hambanya mood. Hanya maju terus bikin telor bikin anak.

Ah, apakah ini namanya mengkhayal yang tidak-tidak.