Mencurigai diri sendiri

Seri Kedua

mewawancarai hati

"Entah hobi ini diwarisi dari siapa. Secara tak sadar, sebetulnya kau amat suka bercuriga dan "melotot" kepada sekelilingmu. Diam-diam, engkau terlatih untuk mendahulukan prasangka ketimbang kejernihan memandang. mungkin kau tidak menyadari, tapi aku mengetahui. Sebab aku bersemayam dalam dirimu. dikandungan batinmu terselip prasangka-prasangka yang kadang-kadang jahat. Yang setiap saat bisa keluar berwujud laku."

"Mumpung kita sedang berdialog jim, dalam kesempatan ini ku ajak engkau untuk justru bercuriga terhadap diri sendiri sebanyak-banyaknya. dan matamu itu, lebih bijak jika tidak "melotot" menatap orang lain dan sekelilingmu."

"Tapi aku tahu, dirimu terdidik oleh iklim curiga dan mata-mata melotot. sehingga mental dan psikologismu tanpa sadar bergerak natural mengikuti asmosfer yang demikian."

"Namun, jika kau mau belajar untuk angkuh terhadap diri sendiri, bercuriga dan melotot kepada dirimu sendiri, maka pekerjaan "curiga-mata melotot"mu terhadap orang lain akan terlupakan otomatis."

"Kenalkah kau sama Muhammad putra Abdullah? Makhluk paling suci dikolong langit ini? Tidak berhenti mencuigai dirinya dari dosa, sehingga seolah-olah satu-satunya profesinya adalah memohon ampun."

"semoga ada suara yang selalu membisikimu bahwa hal utama --sebelum kau memelototi orang lain atas sikap-sikapnya yang kau anggap tidak pantas--kau ambil kaca dan menatap jernih sambil curiga sedalam-dalamnya terhadap diri: jangan-jangan kau lebih buruk dari orang yang kau curigai dan pelototi itu."


mengerjakan yang mesti dikerjakan
Seri Ketiga

Kisah-kisah hati

"Jim, sebetulnya sih tak perlu membebani pikiran, dengan rumitnya rencana-rencana mengenai apa yang mesti dikerjakan dalam hidup yang hanya sebentar ini."

"Soalnya aku sering mendengar suara sunyimu yang murung, kau terduduk dipojok tak mengerti apa yang mesti kau lakukan, sesekali otakmu memekik putus asa dan berujung kepada intimidasi dalam hati: 'kenapa aku tak bisa membuat sebuah rencana besar? kenapa otakku tak sanggup berjalan untuk sekurang-kurangnya merancang program-program kecil harian sehingga hidupku tidak membuih dan mengambang? untuk sekadar mengerti kewajiban-kewajiban sebagai subjek akademis saja, otakku sukar diajak kompromi'"

"Ya, ya, ya aku mengerti, paling mengerti dengan aduan-aduan sunyimu yang tak terucap, sebab aku bersemayam dalam dirimu. Aku sangat akrab kepadamu. bahkan mengerti dan memahamimu melebihi dirimu sendiri. meski kudapati setiap saat kau menindasku, itu tetap tak sanggup menghilangkan peranku atasmu."

"mungkin Tuhan sedang melangsungkan sunnatullah atas hidupmu. otakmu yang sekarang tak sanggup mengurai bahkan untuk urusan "apa yang hendak kau lakukan", itu merupakan sindiran alami Tuhan--ya itu tadi sunnatullah; hukum Allah yang berlaku secara alami seirama dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkanNya--"

"Kenapa sunnatullah atas dirimu kok begitu? karena bangunan sejarahmu tidak beres. mungkin sebab utamanya kau terbiasa melewatkan hal-hal yang mestinya kau kerjakan namun kau abaikan. sehingga di ujung kesadaranmu, engkau bingung, tak mengenali lagi hal-hal yang harus dan semestinya kau lakukan dalam melangkahkan kaki kehidupan."

"Namun Tuhan tetap menyediakan diri jika kapan-kapan engkau pingin merayuNya supaya mengembalikan kemampuanmu berproduk kreatifitas planning. sehingga kau tau setiap saat apa yang mesti kau perbuat dan kemana harus bergerak, bagaimana bergeraknya, berapa kadar geraknya, sehingga terbuka tabir kegelapan di otakmu, dan terpancar cahaya di ubun-ubunmu."

Dengar suara di keheningan hatimu. sebagai obat atas penyakit "kenapa-aku-tak-tahu-apa-yang-seharusnya-kuperbuat"mu itu. dengarkanlah jawaban itu:


"kerjakan apa saja yang mesti kau kerjakan sebagai manusia"


"kalau engkau masih tak paham, amatilah dirimu, sekelilingmu, alam dan manusia--apa saja--temukan iramanya, keharmonisannya, gerak, arah dan auranya. scanlah semuanya dengan otak anugrah Tuhan dan hati bersahaja: kira-kira adakah yang tidak beres disana, yang tidak setia terhadap prinsip gerak dan posisinya, jika ada, sesuatu yang mesti kau kerjakan adalah membenahinya."

"Kau masuk kamar, disambut oleh sampah dan barang-barang, kau memberesinya, maka kaulah manusia yang mengerti apa yang mesti kau kerjakan. dalam skala lebih besar, kamar itu juga bisa berupa sebuah lapangan kehidupan, sampah-sampah itu bisa berwujud keinginan-keinginan egoistik, praktek kecurangan-kecurangan, kekerdilan dan kebodohan, apapun saja--dan kau mengerti apa yang mesti kau lakukan."

0 comments: