Secangkir susu jahe

Mula-mula penuh, lalu tinggal setengah, lantas ludes masuk rongga tenggorokan, menyisakan rasa manis-manis pedas dikaki lidah. Leganya.

Memang kalau sedang bengong, enaknya berkhayal yang tidak-tidak sambil ditemani secangkir minuman hangat. Tapi, memangnya apa itu berkhayal yang tidak-tidak. Definisinya masih samar-samar. Aku sendiri tak bisa menelusuri akar kalimat itu. Bangsa Indonesia memang memiliki banyak sejarah bahasa yang sukar dimengerti.

Kesimpulannya, berarti ada juga pekerjaan mengkhayal yang iya-iya.

Kadang-kadang ingin rasanya diri ini nangis. Soalnya sangat banyak yang tidak bisa kesampaian dalam hidup. Sumpek diri ini memikirkan hal-hal yang ingin dicapai tapi tak sampai-sampai.

Kalau disuruh milih sih, mending jadi ayam saja, tak membutuhkan ideom-ideom dan tema-tema yang membingungkan. Cukup makan dan kawin. Masalah nanti diakhirat disediakan surga atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting dalam hidup yang hanya sekali ini, ia tidak ketemu dengan yang namanya stress.

Sebab sudah setua ini masih saja hati ini tak selesai. Ribut dengan keinginan-keinginan, ego, nafsu, kepentingan yang tidak jelas dan tidak sejati.

Sudah setua ini masih saja tidak mengenali jalan lurus. Sekalinya ketemu, tiba-tiba kaki ini kram, atau pincang mendadak, sehingga jalannya terseok dan setengah-setengah.

Maka alangkah enaknya itu ayam. Tidak dituntut harus pintar, bebas bergerak mau kemana dan tak perlu belajar bahasa inggris untuk mengerti dunia global.

Tak perlu disuruh sholat, sebab kokoknya sudah otomatis dzikir. Matinya disembelih sudah serta merta penyerahan total kepada Tuhan. Jadi tidak terbayangkan seekor ayam bisa masuk neraka. Sekalipun ini ayam terbang melangkahi kepala kyai dan e'ek di atas kopyah beliau, tetap tak terbayang besok akan ada antrian ayam dipintu neraka.

Susu jahe tinggal rasa, tapi hati ini tetap tertambat kepada ayam. Terkagum-kagum dengan perilakunya yang jika diminta raga dan jiwanya sama Tuhan, akan lantas menyerahkan, sebab otaknya yang kecil itu mengerti bahwa dirinya milik Tuhan dan tak ada saham 0 % pun baginya dalam kepemilikan itu.

Lain halnya dengan manusia, yang merasa sangat berhak atas dirinya sendiri. Sehingga apapun harus yang sesuai selera diri sendiri. "Inna lillahi" itu terminologi asing. Kita milik Allah, jiwa raga kita pinjaman, namun jika diminta, kita ngotot tidak mau ngasih jiwa kita. Kita gerak bukan berdasar kepada apa yang benar menurut Tuhan, tapi berdasar mood atau tidak mood. Seolah-olah tuhan kita adalah mood itu sendiri.

Alangkah bahagianya ayam yang tak pernah tau mood. Tidak pernah diperbudak mood, tidak sekalipun menjadi hambanya mood. Hanya maju terus bikin telor bikin anak.

Ah, apakah ini namanya mengkhayal yang tidak-tidak.

0 comments: